Resign dari Dakwah: Menelisik Diri untuk Berbenah
______________________
@dwiboediyanto
Kabid. Pelatihan dan Dakwah PW IKADI Yogyakarta
Meninggalkan dakwah itu perkara gampang. Kita tinggal
sedikit demi sedikit menjauhinya saja. Tidak aktif lagi tanpa
pemberitahuan. Tidak merespon saat dihubungi. Bersikap masa bodoh
terhadap aktivasi. Tidak datang saat diundang. Sembunyi ketika
dimobilisasi. Intinya, bersikap cuek dan masa bodoh saja. Tenggelamkan
dalam aktivitas yang memuaskan diri. Dengan cara demikian lambat laun
kita akan meninggalkan (atau barangkali lebih tepat — ditinggalkan
dakwah). Gampang sekali. Tapi apa manfaatnya bagi kita mengambil sikap
demikian?
Benar, meninggalkan dakwah itu perkara yang mudah. Tapi
saya sangat yakin, jauh lebih mudah lagi bagi Allah Ta’ala untuk mencari
pengganti yang jauh lebih baik daripada mereka yang memutuskan untuk
‘pensiun’ dari dakwah. Para pengganti itu akan menggerakkan dakwah jauh
lebih ikhlas dan bersemangat. Ya, sangat mudah bagi Allah untuk
melakukannya. Sangat mudah. Tidak ada sedikit pun kerugian bagi dakwah
ketika seseorang resign darinya. Dakwah akan terus berjalan, ada atau pun tanpa kita.
Sekali lagi kita bertanya, apa manfaatnya bagi hidup
kita? Dakwah memang tidak memberi tumpukan harta. Bahkan bisa jadi
kitalah yang mesti menyisihkan dari yang Allah karuniakan pada kita
untuk menggerakkan dakwah. Tapi di sanalah kita menemukan makna yang
indah. Kita terlibat dalam dakwah bukan untuk memperoleh harta
berlimpah. Kita ingin mendapatkan keridlaan Allah, sehingga dengannya
hidup kita bertabur barakah.
Sekiranya kita memilih ‘masa bodoh’ dan resign dari
dakwah, sungguh ada satu hal yang dikhawatirkan: dicabutnya barakah
dari hidup kita. Direnggutnya rasa qanaah terhadap harta dari diri kita.
Tiba-tiba saja kita berubah menjadi orang yang sangat ‘kemaruk’ dan rakus terhadap duniawi, secuil apapun ia. Lalu aktivitas dakwah ditinggalkan. Forum-forum pembinaan mulai diabaikan.
Sebagai gantinya proyek-proyek materi menjadi lebih diutamakan.
Dalam situasi demikian (kadang) seseorang masih merasa
berkebajikan. Padahal, yang dilakukannya tidak lebih dari aktivitas
remeh yang disesaki oleh hasrat yang besar terhadap uang. Semakin
dikejar, rasa puas tak pernah akan terpenuhi. Tiba-tiba juga kebutuhan
tak bisa tercukupi, padahal pendapatan lebih banyak dari sebelumnya.
Jika hal demikian yang terjadi, alangkah baik, sekiranya kita berhenti
sejenak. Menelisik kondisi diri.
Jangan-jangan kebarakahan itu telah dicerabut dari hidup kita. Na’udzubillahi min dzalik.
Setiap saat kita memang perlu menelisik diri. Jika ada
benih-benih bergesernya orientasi, mari diluruskan kembali. Saat
kelesuan mulai tumbuh, segera pupus dengan semangat beramal. Ketika
kejenuhan mulai melanda, perlulah silaturahmi agar ada penyegaran dan
suntikan semangat membara.
Memperturutkan kelesuan dan kemalasan beraktivitas
dakwah hanya mendatangkan situasi yang semakin berat. Lambat laun
seseorang berkemungkinan *‘resign’* tanpa pamitan.
Dalam situasi demikian, ia tidak menyadari bahwa ada
yangi berbeda dari cara berpikir, berasa, dan juga bertindak. Mulailah
ia bersikap seperti penumpang dan mulai menanggalkan mental seorang
sopir ( driver ) yang bersemangat, pantang menyerah dan
berkeluh kesah, berorientasi untuk mencari solusi, dan memilih untuk
tidak menghujat serta menghakimi.
Saking mudahnya meninggalkan dakwah, alasan apapun bisa dikemukakan.
Seseorang dapat mengelabuhi murabbi atau qiyadah dakwah
dengan alasan yang tampak masuk akal: bisnis, kerja, urusan keluarga,
atau apapun (Qs. Al Fath:11 dan Al Ahzab: 13). Tapi sungguh, Allah yang
paling tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diri kita.
Apakah alasan-alasan itu benar adanya, ataukah muncul
dari kelemahan diri dan hasrat kuat untuk menghindar dari amanah.
Lagi-lagi, kita memang perlu banyak menelisik diri sendiri.
Jika hari-hari ini kita mulai tampak lesu dan tidak
bergairah di jalan dakwah, forum-forum pembinaan juga terasa gampang
ditinggalkan, kontribusi yang mesti diberikan juga terasa berat
ditunaikan, kerinduan bertemu ikhwah tergantikan dengan hasrat kuat
untuk mengejar duniawi, atau teramat nyinyir dan antipati memandang
dakwah serta komunitas kebaikan lainnya, rasa-rasanya kitalah yang lebih
butuh untuk menerima banyak nasihat dibandingkan orang lain.
Sungguh, tak ada manfaat yang dapat diperoleh dari
meninggalkan dakwah, kecuali hidup yang tercerabut dari memperoleh
barakah. Hari-hari ini ketika waktu istirahat bagi sejumlah ikhwah
terasa amat singkat, kita sungguh merasa malu. Sebagian kita masih
bersantai-santai, bahkan membiarkan diri dalam lalai. Ya, ada banyak di
antara kita, termasuk saya, yang lebih butuh nasihat.
Semoga Allah jadikan kita generasi yang Allah kokohkan
di jalan dakwah ini, terus kokoh, semakin kokoh hingga husnul khotimah.
Aamiin.